Header Ads

  • Teranyar

    Hukum Potret-Memotret dalam Islam


    Hukum Potret-Memotret dalam Islam

    Potret-memotret merupakan sesuatu yang paling digandrungi oleh semua orang terutama kalangan remaja. Kemanapun mereka pergi, kamera selalu menemani. Bahkan tidak jarang ditemukan seorang yang rela melakukan sesuatu yang berbahaya dan bahkan nyawa taruhannya hanya demi hasil sebuah jepretan. “Tidak ada momen tanpa sebuah kamera”, ungkapan ini yang sering mereka lontarkan. Mereka tidak tahu, apakah tindakan mereka dibenarkan atau malah dilarang oleh syari’at sebagaimana melukis.

    Praktik lukis-melukis dan gambar-menggambar sesuatu yang bernyawa dilarang keras oleh Rasulullah SAW. Ada beberapa hadits yang dengan tegas dan jelas mengecam praktik ini. Diceritakan bahwa Sayyidah Aisyah RA menggunakan satir yang bergambar, lalu raut wajah Rasulullah SAW berubah (menunjukkan rasa tidak suka), kemudian menghapus gambar tersebut seraya bersabda:
    إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ

    “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


    Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa para malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di rumah tersebut ada seekor anjing atau sebuah gambar. Bahkan dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa sebuah gambar merupakan perkara mungkar yang menggugurkan kewajiban seseorang untuk menghadiri acara resepsi pernikahan.

    Adapun gambar yang dihasilkan oleh sebuah kamera, tidak ditemukan dalam kitab-kitab salaf. Demikan tersebut karena pada saat itu kamera belum ditemukan, dan baru ditemukan pada abad ke-16 dan berkembang dua abad kemudian. Akan tetapi, banyak ulama kontemporer yang berfatwa mengenai gambar hasil kamera.

    Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum gambar yang dihasilkan sebuah kamera. Perbedaan ini bermuara apakah hasil foto sama dengan hasil lukisan. Mufti mesir tempo dulu, Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i dalam risalah yang berjudul Al-Jawâb al-Kâfî fî Ibâhatit-Tsahwîr al-Futugrafî berpendapat akan bolehnya memotret dengan kamera. Karena pada hakikatnya, fotografi hanyalah menangkap bayangan bukan pekerjaan menjadikan (‘amaliyah khalq) seperti yang disinggung dalam hadis:

    قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً

    Allah SWT berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Maka ciptakanlah nyamuk atau semut kecil (jika mereka memang mampu)”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hambal)

    Ada beberapa ulama yang mempunyai pendapat senada, seperti Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dalam risalahnya, Syekh Muhammad Ali as-Sayis, Syekh al-‘Allamah Hasanain Muhammad Makhluf dala Tafsîr Ayâtul Ahkâm.

    Akan tetapi, ada beberapa ulama yang mengharamkannya dengan alasan kehati-hatian, seperti Syekh Mustofa Abu Saif al-Hamami dalam kitab an-Nahdhah al-Ishlâhiyah, Syekh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi dalam kitabnya yang bernama Fiqhu as-Sirah dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dalam kitabnya Rudud ‘ala Abâthil dan Tafsîr Ayâtul Ahkâm li ash-Shâbuni. Wallahu A’lam

    Ma’sum Ahmadi/Tauiyah

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728